Sukuk berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari kata Shakk yang berarti surat berharga.
Secara terminologi AAOIFI mendefinisikan Sukuk dengan, “Beberapa lembar sertifikat dengan nilai sama yang mewakili bagian kepemilikan tidak tertentu atas barang, manfaat suatu barang, jasa atau kegiatan investasi tertentu.” (Al Ma’ayir as Syar’iyyah, hal 238.)
DSN menamakan surat berharga ini dengan istilah Obligasi Syariah.
Pada tahun 1999 dewan syariah di Bahrain menfatwakan bolehnya negara menerbitkan sukuk ijarah untuk membiayai belanja negara. Dengan diterbitkannya sukuk ijarah tersebut Bahrain dapat mengumpul dana sebanyak 10 Milyar US Dollar.
Keberhasilan Bahrain meraup dana dalam jumlah besar ini mengundang negara teluk lainnya untuk mengikuti langkahnya, seperti; Kuwait dan Dubai.
Skema penerbitan sukuk tersebut sebagai berikut:
Pemerintah Bahrain menginginkan dana untuk menutupi belanja negara dengan cara menjual sebagian barang milik negara yaitu sebagian tanah bandar udara internasional Bahrain, dengan harga 40 juta Dinar Bahrain secara tunai. Yang dibagi menjadi beberapa lembar sertifikat dengan nilai yang sama untuk dijual ke publik melalui bank sentral Bahrain.
Masih dalam majlis yang satu, para pemegang sukuk yang diwakili oleh bank sentral Bahrain menyewakan barang tersebut (sebidang tanah Bandara) kepada pemerintah Bahrain selama 10 tahun dengan harga 20 juta 500 ribu Dinar Bahrain yang dibayar oleh pemerintah Bahrain dengan cara angsuran sebanyak 20 kali, yaitu setiap 6 bulan sebanyak 1 juta 25 ribu Dinar Bahrain. Nilai pertambahan ini yang mirip dengan bunga pada obligasi sebesar 5,125% per tahun.
Masih dalam majlis akad tersebut, pemerintah Bahrain berjanji dengan janji yang mengikat untuk membeli kembali tanah yang telah dijualnya kepada pemegang sukuk setelah berakhirnya masa sewa pemerintah selama 10 tahun dengan harga yang sama dengan harga pada saat dijual yaitu 40 juta Dinar Bahrain (Dr. Hamid Mirah, Sukuk al Ijarah, hal 402-403.)
Hukum Sukuk
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum Sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah Bahrain.
Pendapat pertama: Sukuk dengan skema yang disebutkan diatas hukumnya mubah/boleh. Pendapat ini didukung oleh Dr. Abdul Sattar Abu Ghuddah.
Dalil dari pendapat ini bahwa skema sukuk adalah gabungan dari beberapa bentuk akad; jualbeli, ijarah (sewa) dan wa’ad (janji). Dan setiap akad ini hukumnya adalah mubah maka gabungan dari akad tersebut hukumnya adalah mubah. Dan hukum ashal setiap transaksi muamalat adalah mubah.
Tanggapan: dalil ini tidak kuat, karena tidak semua gabungan dari akad yang satuannya mubah hukum gabungannya juga mubah, contoh; menikahi seorang wanita mubah, akan tetapi bila seorang laki-laki menggabung untuk menikahi seorang wanita dengan saudari wanitanya maka gabungan dua akad nikah ini menjadi tidak boleh. Begitu juga dengan muamalat maliyyah, seperti; akad ‘Inah yang merupakan gabungan dua akad jualbeli yang satuannya adalah mubah, namun ketika dua akad tersebut digabung dan menjadi sarana untuk terjadinya riba maka mayoritas para ulama mengharamkannya, begitu juga menggabungkan akad pinjaman dan akad jualbeli telah diharamkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, padahal satuan dari masing-masing akad ini dibolehkan.
Pendapat kedua: Sukuk dengan skema yang dijelaskan di atas hukumnya haram dan salah satu bentuk pengelabuan riba. Pendapat ini didukung oleh mayoritas para ulama kontemporer, diantaranya; Prof. Dr. As Shiddiq Ad Dharir, Prof. Dr. Nazih Hammad, Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Muhammad Taqiyy Al Utsmani dan para ulama lainnya.
Dalil-dalil dari pendapat yang mengharamkan adalah sebagai berikut
a. Hakikat yang terjadi dalam akad ini adalah jualbeli ‘Inah yang diharamkan sekalipun menurut mazhab Syafi’i, karena telah direkayasa dengan gabungan akad tersebut bahwa pemilik barang (pemerintah Bahrain) mendapatkan uang tunai sebesar 40 juta Dinar Bahrain dengan menjual sukuk yang underlyingnya adalah sebagian tanah Bandara. Kemudian barang kembali menjadi milik penjual setelah berlalu 10 tahun dengan cara dikembalikan uang secaraberangsur setiap 6 bulan ditambah dengan uang pembelian kembali barang. Maka hasil akhirnya pemilik uang mengeluarkan uang 40 juta Dinar dan setelah 10 tahun uangnya bertambah menjadi 60 juta 500 ribu Dinar Bahrain.
Ini sangat mirip dengan ‘Inah, dimana pemilik barang (penjual) mendapat uang tunai dan kemudian dia mengembalikan dalam jumlah yang lebih besar dengan cara tidak tunai dan barang kembali lagi kepada penjual yang ini merupakan pengelabuan riba. Ini sama artinya pemerintah Bahrain terima uang tunai dengan jumlah 40 juta Dinar Bahrain dari pemegang sukuk dan dikembalikan setelah 10 tahun dengan jumlah 60 juta 500 ribu Dinar Bahrain, sedangkan akad jualbelinya fiktif karena barang disyaratkan kembali lagi ke tangan pemiliknya semula (pemerintah Bahrain). (Dr. Hamid Mirah, Sukuk al Ijarah, hal 406-407.)
b. Akad sukuk ini serupa dengan jaulbeli wafa’. Yaitu suatu akad jualbeli dengan persyaratan apabila penjual mengembalikan uang pembelian barang yang diterimanya dari pembeli maka pembeli harus mengembalikan barang, dan selama uang belum dikembalikan pembeli berhak memanfaatkan barang. (Al Mausu’ah fiqhiyyah Kuwaytiyyah, jilid IX, hal 260.)
Persamaan antara dua akad ini yaitu: penerbit sukuk pada hakikatnya telah menerima uang sebesar 40 juta Dinar Bahrain dan menyerahkan sebagian tanah lapangan terbang internasionalnya kepada pemegang sukuk dan pemegang sukuk bebas mendapat manfaat dari barang tersebut hingga penerbit sukuk mengembalikan uang sebesar 40 juta Dinar. Dan dalam akad sukuk terdapat tambahan akad yaitu penerbit sukuk menyewa barang tanah bandara tadi dan membayar upah sewa.
Maka hukum sukuk sama dengan hukum jualbeli wafa’. Mayoritas para ulama dari mazhab Maliki, Syafii, Hanbali dan sebagian ulama Mazhab Hanafi mengharamkan jualbeli wafa’ ini. Pendapat mayoritas ulama klasik ini diperkuat oleh keputusan OKI melalui divisi fikih Islam internasional dalam muktamar ke VII di Jeddah, Arab Saudi pada tahun 1992, No. 66 (4/7) yang berbunyi, “Hakikat jualbeli wafa’ yaitu: Seseorang menjual harta miliknya dengan syarat kapan penjual mengembalikan uang pembeli maka pembeli harus mengembalikan barang yang dibelinya.
Maka majlis memutuskan sebagai berikut:
Pertama: hakikat jualbeli ini adalah pinjam meminjam yang mendatangkan manfaat yang merupakan pengelabuan riba. Dan jualbeli ini tidak sah menurut mayoritas para ulama.
Kedua: Dewan memutuskan bahwa akad ini tidak dibenarkan syariat.” (Journal Islamic Fiqh Council, edisi VII, jilid 3, hal 9.)
Semakna dengan pernyataan OKI, syaikh Islam Ibnu Taimiyah 7 abad yang lalu telah mengharamkan jualbeli wafa’ dan bahkan secara khusus menjelaskan transaksi yang sama dengan akad sukuk serta menghukuminya haram. Ia berkata,
“Apabila maksud seseorang ketika menyerahkan uang kepada orang lain dan menerima rumah dari penerima uang adalah ingin memanfaatkan rumah tersebut selama uangnya masih berada di tangan penerima uang. Dan apabila pemilik rumah mengembalikan uang iapun mengembalikan rumah, ini hukumnya haram –tanpa ragu- karena hakikat yang terjadi yaitu uang ditukar dengan semisal akan tetapi ada tambahan manfaat penggunaan rumah. Ini adalah riba yang nyata … Adapun istilah bahwa ini dinamakan jualbeli wafa’ adalah jualbeli yang batil menurut kesepakatan para ulama … dan dalam akad ini kebijakan yang harus diambil bahwa rumah dikembalikan kepada pemiliknya dan uang dikembalikan kepada pemiliknya dan kedua pelakunya dijatuhi sanksi jika mereka telah mengetahui bahwa hukumnya haram karena ini adalah pinjaman yang mendatangkan manfaat … Adapun bentuk lainnya yaitu: keduanya membuat kesepakatan bahwa dia membeli rumah dengan uang tunai, lalu pembeli rumah menyewakan rumah itu kepada penjual selama waktu tertentu dan apabila penjual bisa mengembalikan uang pembeli maka pembeli wajib mengembalikan rumah. Maka yang dimaksud dalam akad ini bahwa pemberi uang menerima upah sewa selama uangnya berada di tangan pemilik rumah. Dan ini hakikatnya adalah mengambil manfaat dari pinjaman dengan bentuk imbalan jasa rumah, semuanya diharamkan.” (Majmu’ Al Fatawa, jilid IXXX, hal 333-335.)
c. Akad yang dibuat dalam skema sukuk adalah fiktif dan dijadikan sebagai sarana untuk pengelabuan riba.
Pernyataan bahwa akad ini fiktif tergambar dalam hal-hal berikut ini:
– Kepemilikan barang di tangan pemegang sukuk bukanlah sebenarnya hak milik mereka. Karena barangyang dibeli adalah aset vital negara yang tidak mungkin dipindah tangankan kepada siapapun. Dan ini bertentangan dengan konsekuensi akad bahwa barang yang telah dibeli sepenuhnya menjadi milik pembeli; dia dapat menjualnya, menghibahkan ataupun
mewakafkannya kepada siapa saja yang dia kehendaki dan hal ini tentu tidak mungkin akan berlaku dalam barang yang dijadikan underlying akad sukuk. Oleh karena itu dalam seminar “Sukuk Islami; pemaparan dan kritikan” yang diselenggarakan di Jeddah pada tahun 1431H direkomendasikan sebagai berikut, “Menekankan kembali bahwa kepemilikan aset underlying sukuk di tangan pemegang sukuk haruslah kepemilikan yang hakiki dan dapat dikuasai penuh dan kepemilikan tersebut terus berlangsung hingga berakhirnya akad sukuk“7.
– Pembelian kembali aset sukuk oleh pemerintah daripara pemegang sukuk sebesar nilai nominal sukuk pada masa akhir periode sewa untuk membayar nilai nominal sukuk, jelas menunjukkan bahwa akad yang dibuat dengan jual beli dan sewa adalah fiktif karena barang kembali lagi kepada pemiliknya sedangkan uang pembeli kembali penuh walau apapun yang terjadi dengan aset sukuk. Ini sama saja dengan pinjaman yang dikembalikan sebesar nominal pinjaman dan pemberi pinjaman mendapat keuntungan dalam bentuk uang sewa aset oleh negara.
Oleh karena itu, untuk menghindari kasus jualbeli fiktif ini Majma’ fiqh Islami (divisi fikih OKI) memutuskan dalam muktamarnya ke- IXX di UEA pada tahun 2009 tentang “Sukuk Islamiyah” keputusan No. 178 (4/19) yang berbunyi, “Pada akhir periode sewa aset tidak boleh aset sukuk dibeli kembali oleh pemerintah dengan nilai nominal, akan tetapi harus dibeli dengan nilai pasar atau dengan kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak pada saat itu.”
Dari dua pendapat yang bertikai tentang hukum sukuk ijarah yang diterbitkan oleh Bahrain maka sangat jelas bahwa pendapat yang mengharamkan sangat kuat karena dalil-dalilnya sangat jelas.
Dan ini juga yang dipilih oleh DR. Hamid Mirah dalam thesisnya yang berjudul Sukuk al Ijarah.
Aplikasi Sukuk Ritel di Indonesia
Keberhasilan Bahrain mengumpulkan modal dalam bentuk sukuk ijarah sebagai alternatif dari obligasi riba mengundang perhatian berbagai negara muslim yang sedang giat menggulirkan roda ekonomi syariah. Selain beberapa negara teluk, Indonesia sebagai negara Islam terbesar jumlah penduduknya mencoba menerbitkan Sukuk dengan nama Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.19 tahun 2008.
SBSN pertama diterbitkan pada 25 Februari 2009. Untuk saat ini telah terbit lima Sukuk negara ritel dengan seri SR-001, SR-002, SR- 003, SR-004, SR-005.
Untuk mendapat legalitas syar’i DSN telah mengeluarkan fatwa No.69, 70, 71 dan 72 mengenai SBSN. Skema dari akad SBSN adalah sebagai berikut:
– Pemerintah menjual aset yang akan dijadikan Obyek Ijarah kepada Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang ditunjuk dan pembeli berjanji untuk menjual kembali aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
– Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN menerbitkan SBSN sebagai bukti atas bagian ( حصة ) kepemilikan Obyek Ijarah, yang dibeli oleh investor pada tingkat harga tertentu sesuai kesepakatan.
– Pemerintah menyewa Obyek Ijarah dengan memberikan imbalan (ujrah) kepada Pemegang SBSN selama jangka waktu SBSN.
– Pemerintah sebagai Penyewa wajib memelihara dan menjaga Obyek Ijarah sampai dengan berakhirnya masa sewa.
– Pemerintah dapat membeli sebagian atau seluruh Aset SBSN sebelum jatuh tempo SBSN dan/atau sebelum berakhirnya masa sewa Aset SBSN, dengan membayar sesuai dengan kesepakatan.
Dalam praktiknya fatwa DSN tentang skema Sukuk Ritel tidak jauh berbeda dengan skema yang diterapkan oleh Bahrain dalam penerbitan sukuknya.
Dengan demikian, hukum Sukuk Ritel yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia juga tidak akan berbeda dengan hukum Sukuk Bahrain.
Sebagai masukan untuk semua pihak yang terkait dengan penerbitan Sukuk Ritel agar hal-hal yang bertentangan dengan kaidah syar’i dalam skema penerbitan dihindarkan dengan membuat akadnya secara benar dan bukan fiktif. Sehingga lebih sesuai dengan syariat dan memang benar-benar menjadi solusi keluar dari riba dan pasti lebih menguntungkan bagi semua pihak.
DR. Erwandi Tarmizi