Telah masyhur di kalangan Ahlus Sunnah bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma adalah salah seorang shahabat Nabi yang berpendapat ‘membolehkan’ nikah mut’ah. Bahkan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengecamnya dengan keras atas pendapatnya itu.
Saat itu, seseorang berkata kepada Ali, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas berpandangan nikah mut’ah itu tidak apa-apa.”
Maka ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai peliharaan/jinak pada hari Khaibar.” (Lihat Shahih Al Bukhari no. 6961)
Hadits Al Bukhari tersebut senada dengan hadits Syi’ah yang berstatus shahih menurut mereka:
Dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah.” (Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251)
Bahkan, dalam Shahih Muslim no. 1407, Ali bin Abi Thalib berkata langsung kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu itu orang yang bingung. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang melarang kita dari daging keledai dan mut’ah pada perang Khaibar.”
Bahkan, Abdullah bin Zubair, saat menjabat sebagai Amirul Mukminin di Makkah mengatakan akan merajam (hukuman mati bagi pezina) bagi seseorang yang melakukan mut’ah.
Diriwayatkan Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanyayaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata, “Sungguh, kamu adalah orang yang kaku dan keras! Demi umurku, mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu.” (Shahih Muslim 2/1023 no 1406).
Demikian juga dikatakan oleh Abdullah bin Umar:
Dari Salim budak Ibnu ‘Umar, ia berkata : Dikatakan kepada Ibnu Umar: “Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap mut’ah”. Beliau (Ibnu ‘Umar) berkata,”Aku tidak percaya Ibnu Abbas mengucapkan itu.” Mereka berkata,”Benar, demi Allah, beliau telah mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata,”Demi Allah, dia tidak akan berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut’ah) itu perbuatan zina.” (HR Abdur Razaq di Mushannaf no. 14020 dengan sanad shahih)
Pengharaman Mut’ah Hingga Kiamat
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan pengharaman nikah mut’ah ini diberlakukan. Menurut riwayat di atas, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengharamkannya pada waktu perang Khaibar.
Namun ada riwayat lain yang menyatakan Fathul Makkah. Diriwayatkan Sabrah Al Juhani, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah pada tahun Al Fath.” (Diriwayatkan oleh Ad Darimiy no. 2242; shahih)
Dari Sabrah Al Juhani menceritakannya: Bahwasanya ia pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ahi itu.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406)
Lafadh pengharaman nikah mut’ah hingga hari kiamat dalam hadits di atas adalah shahih lagi mahfudh. Tahun Al-Fath dengan tahun Authaas (dimana beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah membolehkan mut’ah selama tiga hari) adalah sama, sehingga hadits di atas dapat dijamak dan tidak ada yang perlu dikontradiktifkan. Maka, tidak akan ada lagi penghalalan setelah tahun Al Fath atau Authas (8 Hijriyah).
Mengapa Ibnu Abbas ‘Menghalalkan’ Mut’ah?
Ibnu ‘Abbas tidak menerima perkataan yang disampaikan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum itu bukanlah karena semata-mata tidak menerima hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu dikarenakan Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu – bersama sebagian kecil shahabat lainnya – juga mempunyai hadits marfu’ yang bertentangan dengan apa yang disampaikan ‘Aliy bin Abi Thaalib, sehingga itu masih samar baginya.
Dan itu jelas sekali terlihat dalam alasan Ibnu ‘Abbas dalam perdebatannya dengan Ibnu Zubair radliyallaahu ‘anhum, “Sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras! Demi umurku, nikah mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).”
Jadi penolakan Ibnu ‘Abbas dikarenakan syubhat. Apalagi sebagian shahabat lain ada yang berpendapat sama dengan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum karena ketidaktahuannya tentang pelarangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas nikah mut’ah hingga hari kiamat.
Perkara seperti ini biasa kita temukan dalam riwayat, baik para shahabat, tabi’i, atau para ulama setelah mereka dalam perselisihan fiqhiyah. Misalnya saja bagaimana perselisihan sebagian shahabat tentang masalah batal tidaknya shalat seseorang karena dilewati tiga hal; perselisihan sebagian shahabat tentang sifat buang air kecilnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (apakah boleh sambil berdiri); masalah ru’yatullah saat Mi’raj; dan yang lainnya masih banyak.
Jadi, perselisihan ini dikarenakan perbedaan hadits yang sampai kepada mereka dan/atau pemahaman terhadap hadits tersebut. Inilah kekayaan fiqh Ahlus Sunnah yang tidak dimiliki Syi’ah. Silakan di-eksplore dalam kitab-kitab fiqh yang ada perbedaan pendapat tersebut. Dan silakan rekan-rekan baca bagaimana penyikapan khilaf di antara shahabat, karena shahabat itu bukanlah pribadi sempurna yang menguasai semua riwayat lagi ma’shum. Tidak terkecuali Ibnu ‘Abbas dan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum.
Ibnu Abbas Rujuk Dari Membolehkan Mut’ah
Khattabi berkata, “Ibnu Abbas membolehkannya bagi orang yang terdesak, karena lamanya membujang, kurangnya kemampuan. Lalu beliau berhenti dari fatwa tersebut (yaitu rujuk).” (A’unul Ma’bud)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibnul Qayyim.
Dalam sebuah atsar, disebutkan bahwa Ibnu Abbas rujuk dari fatwanya tentang kebolehan mut’ah.
Dari Ibnu Syihab: Aku mendengar Ar-Rabi’ bin Sabrah menceritakan kepada ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan saat itu aku sedang duduk. Ia (Ibnu Sabrah) berkata: “Tidaklah Ibnu ‘Abbas meninggal hingga ia rujuk dari fatwanya ini (tentang kebolehan nikah mut’ah).” (Diriwayatkan oleh Abu ‘Awaanah no. 4057, shahih)
Ada beberapa riwayat lain selain di atas tentang rujuknya Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Namun satu yang di sebutkan di sini sudahlah cukup memberikan keterangan tentang posisi Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu dalam permasalahan nikah mut’ah; yaitu:
Ia memang pernah memfatwakan kebolehannya sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memperbolehkannya. Kemudian setelah mendapat kecaman dan penjelasan dari para shahabat lain, Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu pun akhirnya menerima dan ruju’ karena telah nyata baginya kebenaran pengharaman nikah mut’ah, walau itu memerlukan waktu (tidak seketika).
Seandainya atsar rujuknya Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhumaa di atas tidak pernah ada, atau dianggap palsu, tetap saja yang kita pakai adalah larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan nikah mut’ah, karena telah jelas dari lisan beliau sendiri akan larangannya hingga hari kiamat. Ditambah lagi posisi mayoritas shahabat, tabi’iin, dan ulama setelahnya yang menyepakati hal itu.
(Dari berbagai sumber)