Namanya Imran bin Hiththan bin Dhabyan As Sadusi Al Bashri, ia awalnya adalah seorang lelaki yang shalih dari kalangan Ahlus Sunnah. Ia berasal dari Bani Sadus yang berjumpa dengan sekelompok orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Imran adalah seorang laki-laki yang buruk rupa dan bertubuh cebol. Namun, ia sangat pandai membuat syair yang paling fasih yang tidak bisa dibuat oleh para ulama Sunni di zamannya.
Suatu kali ia jatuh cinta dan ingin menikahi seorang wanita yang berakidah Khawarij aliran ‘Aqadiyah. Ketika diingatkan tentang akidah si wanita, ia menjawab bahwa ia ingin mendakwahi si wanita dan mengajaknya kepada Islam yang sebenernya.
“Aku ingin mengembalikannya (kepada pemahaman Ahlus-Sunnah).”
Namun justru wanita itulah yang mengubah Imran kepada madzhab Khawarij.
Wanita itu mempunyai wajah yang cantik jelita. Bahkan ia adalah wanita paling cerdas. Namun, ia mau dinikahi oleh Imran dengan dasar keshabaran. Suatu ketika istrinya berkata kepadanya, “Aku memperhatikan urusanku dan urusanmu, maka aku berpikir aku dan engkau kelak akan masuk surga.”
‘Imran berkata, “Bagaimana hal itu terjadi?”
Istrinya berkata, “Karena aku dikaruniai orang semisal dirimu (yang buruk rupa) lalu aku bersabar, sedangkan engkau dikaruniai orang semisal diriku (yang cantik) lalu engkau bersyukur. Orang yang bersyukur dan sabar, keduanya masuk surga.”
Imran adalah orang yang memuji Ibnu Muljam si pembunuh Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, dengan bait-bait syi’ir yang terkenal.
Ketika Imran meninggal tahun 84 H, wanita itu dilamar oleh Suwaid bin Manjuf, namun ia menolaknya.
Pada wajah istri Imran itu terdapat tahi lalat yang sangat disukai oleh ‘Imran, dimana ia sering menciuminya. Sepeninggal ‘Imran, wanita itu menekan tahi lalat itu dan mencabutnya seraya berkata, “Demi Allah, tidak boleh ada seorang pun yang melihatnya sepeninggal ‘Imran.”
Ia pun tidak menikah dengan orang lain hingga ia meninggal.
Dengan demikian, Imran dihukumi sebagai pelaku bid’ah. Namun demikian, Imran tetap diambil riwayatnya oleh para Ahli Hadits dikarenakan Khawarij merupakan Ahli Bid’ah yang paling jujur dan mengharamkan sangat dusta. Ini terkait aqidah mereka yang mengkafirkan para pelaku dosa besar.
Karena itulah, Imam Abu Dawud berkata, “Tidak ada yang lebih shahih haditsnya dari kalangan pengikut hawa nafsu dibandingkan kelompok Khawaarij.”
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, Al-Bukhari hanya meriwayatkan darinya (dalam kitab Ash-Shahih) berdasarkan kaedahnya dalam periwayatan hadits-hadits dari kalangan mubtadi’, yaitu apabila jujur dalam perkataannya dan taat beragama. … Tidak ada riwayatnya dalam Shahih Al Bukhari kecuali dalam tempat ini sebagai mutaaba’ah saja, dan yang lain dalam Bab Naqshush-Shuwar.
Oleh karena itu, hendaknya, seorang laki-laki hendaklah lebih menitik-beratkan faktor agama dari seorang wanita ketika hendak menikahinya. Sebagaimana anjuran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wanita (biasanya) dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang bagus agamanya. (Jika tidak), maka engkau akan merugi.”
Selain itu, tidak boleh berbaik sangka pada diri sendiri tidak akan berubah dan terpengaruh saat berinteraksi dengan orang-orang yang menyimpang, meskipun telah lama mengaji dan (beranggapan) ilmunya telah banyak.
Dan jika, seorang laki-laki dapat terpengaruh oleh agama atau ’aqidah istrinya yang menyimpang padahal ia memegang kendali urusan rumah tangganya dan berperan sebagai pemimpin bagi keluarganya; maka sebaliknya, seorang wanita jauh lebih dapat terpengaruh oleh penyimpangan agama/’aqidah yang dipeluk suaminya. Oleh karena itu, para ulama membenci seseorang menikahkan anak wanitanya dengan orang yang faasiq (pelaku maksiat). Keshalihan agama merupakan kafaa’ah dalam hal ‘afiifah (kehormatan diri).