“Pokoknya, Bunda mau kerja!”
Alia mengakhiri kalimatnya berapi-api. Sementara Mas Irvan menatapnya tak berkedip.
“Ada lagi?”
Alia menarik nafas, mengerutkan kening. Lalu mengacungkan tangannya.
“Masih ada!”
Tiga orang anaknya yang beranjak remaja turut memperhatikan semangat Bunda mereka yang kali ini seolah tak terbendung. Disamping mereka, Mas Irvan ikut menunggu, seakan mengatakan; “go ahead”.
* * *
Itulah potongan fragmen kisah dari bukunya mbak Asma Nadia, Sakinah Bersamamu. Istri yang bekerja mungkin sudah bukan hal tabu lagi bagi masyarakat Indonesia. Jika pada jaman dahulu, peran seorang istri tidak jauh dari kasur, sumur dan dapur. Namun sekarang tak jarang ada juga istri yang berperan sebagai seorang direktur. Biasanya jika ada tulisan yang mengangkat tema wanita bekerja, penulisnya seorang aktivis gender pendukung feminisme. Tapi kali ini ijinkan saya, mencoba menulis dari perspektif suami –calon suami- dengan membingkainya dari sudut pandang islam yang syamil.
Istri bekerja, memang sudah tidak asing lagi. Terutama bagi kalangan aktivis dakwah. Terkadang istri juga harus turut andil membantu sang suami mencari maisyah, untuk menjaga agar asap dapur tetap mengepul dan agar dandang tiada bergoyang, atau agar kendhil ora nggoling – tempat menanak nasi tidak tumpah, bahasa jawa-. Namun kewajiban nafqah tetap ada suami. “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah : 233)
Nafaqah Adalah Kewajiban Dan Tanggung Jawab Suami
Mengapa pada frase tersebut saya tebalkan. Adalah sebuah penegasan bahwa jatah rizki telah diatur, kadar kesulitan telah ditetapkan tidak akan melibihi kemampuan seseorang. Mari kita tengok sedikit makna kata nafaqah, Sayyid Sabiq yang saya ambilkan dari rasam, Fiqh Sunnah. Beliau mendefnisikan nafkah disini adalah mencukupi segala kebutuhan istri yang mencakup makanan, tempat tinggal, pelayanan dan obat meski dia (istri) adalah orang kaya. Memberi nafkah kepada Istri hukumnya adalah wajib berdasar Qur’an, sunnah dan ijma’ .
Beruntunglah seorang suami yang dianugerahi seorang bidadari surga bernama istri shalihah. Istri yang qona’ah. Ia ridho terhadap berapa pun besarnya yang diterima dari sang suami. Namun tetap saja tidak menggugurkan kewajiban sang suami untuk memberikan nafkah yang standar bagi istri, yaitu memberinya makanan, tempat tinggal, pelayanan, dan obat meski istri kita dari kalangan orang kaya.
Rasulullah kembali mengingatkan, dalam khutbah haji wada’ “Takutlah engkau kepada Allah dalam memperlakukan wanita. Sesungguhnya kalian mempersunting mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian yang harus mereka penuhi adalah tidak mengizinkan masuk ke rumah kalian, seseorang yang kalian tidak sukai. Jika itu mereka lakukan maka pukul-lah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Sedang hak mereka yang harus kalian tunaikan adalah memberi nafkah dan pakian dengan cara yang ma’ruf” ( HR. Muslim)
Bahkan meskipun sang suami murtad sekalipun, kewajiban memberikan nafkah kepada istri tidak bisa dihapuskan. Pembahasan tentang nafkah ini saya cukupkan sampai disini, silakan membaca ulasan lengkapnya pada fiqih sunnah karya Sayyid Sabiq. Kita kembali kepada istri yang ingin atau harus bekerja, demi membantu sang suami menopang maisyah keluarga. Bagi suami, tenang saja. Benjamin Franklin dalam The Case of Marriage-nya Linda J. White, yang saya kutipkan dari bukunya ustadz Salim A fillah Bahagianya Merayakan Cinta, berkata “Menikah bukanlah membagi dua hasil kerja kita. Tetapi menikah adalah seorang laki-laki yang memiliki pekerjaan ditambah dengan wanita yang ‘pekerjaannya’ adalah mengurusi sang suami dalam berbagai cara tertentu”
Padahal masing-masing orang telah miliki jatah rizki. Tinggal kita jemput saja barakahnya. Jumhur ulama mendefinisikan barakah sebagai ziyadatan khair, tambahnya kebajikan. Kebajikan itu bisa jadi tertampakkan dalam sikap qona’ah dan ridha dari istri kita ketika menerima berapapun nominal penghasilan kita. Mungkin juga tertampakkan dalam keahliannya menata ekonomi keluarga sehingga dana yang mungkin dalam perhitungan kita sangat kurang tiba-tiba menjadi cukup bahkan ada sisa untung saving. Bukankah Allah juga menjanjikan akan mengkayakan seorang menikah ? “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak menikah diantara sahaya kamu yang lelaki atau pun yang perempuan. Jika keadaan mereka faqi, Allah akan membuat mereka kaya dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (KaruniaNya) lagi Maha mengetahui” ( QS. An Nuur : 32-33 )
Istri Bekerja Dan Kebutuhan Beraktualisasi
Nah, sebenarnya tidak perlu takut untuk miskin. Takutlah untuk menjadi kaya, karena terkadang menjadi kaya itu jauh lebih sulit. Bersyukur disaat kaya jauh lebih sukar dari pada bersabar saat miskin. Oke kita kembali lagi kepada bagaimana jika istri harus bekerja. Jika dilihat dari sisi syar’i nya, kerja nya suami untuk mennafkahi istri dan keluarganya adalah sebuah bentuk kewajiban. Itu adalah tanggung jawab. Sementara bila istri bekerja adalah sebagai bentuk aktualisasi diri, aktualisasi diri adalah sebuah kebtuhan yang melekat pada setiap manusia. Kebutuhan untuk dianggap ada, memperoleh penghargaan atau self esteem, seperti yang diteorikan Abraham H. Maslow. Adalah kebutuhan manusia juga untuk berprestasi ( need of achievement ) seperti yang diungkapkan David Mc. Clealand. Karena ini adalah kebutuhan, dan ingat bahwa kewajiban nafkah suami terhadap istri adalah memberikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.
Jika kita pahami dalam ushul fiqh, terdapat sebuah kaidah : Maa laa yatimnu al wajib illa bihi fahuwa wajiib, bahwa seuatu kewajiban itu tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu itu dihukumi wajib juga. Termasuk dalam hal ini adalah kebutuhan untuk beraktualisasi diri, berprestasi, memperoleh ilmu dan pengajaran yang baik bagi seorang istri yang harus dan wajib dipenuhi oleh seorang suami. Yang mungkin, salah satu wasilah atau caranya bisa diperoleh dari bekerjanya seorang istri. Dengan istri yang bekerja, ia kan memperoleh ilmu dan pengalaman berharga bahwa mencari penghidupan dan menjemput rizki yang menjadi tugas wajib suami ternyata tidaklah mudah, sehingga terhadirkan syukur dan ridha terhadap nafkah yang telah diberikan suami. Dari istri yang bekerja, mungkin ia akan sejenak dapati pelipurlara atau berhibur dari kejenuhan ketika suntuk di rumah yang bila tidak teratasi bisa menjadi stessor yang kuat menggangu stabilitas rumah tangga. Sehingga setelah istri bekerja ada kerinduan untuk segera bertemu suami dan buah hatinya di rumah. Dan berbagai hal positif lainnya dari istri yang bekerja.
Bagaimana Pandangan Ulama
Tentang istri yang bekerja ini, para ulama memiliki dua pandangan. Para ulama membedakan antara pekerjaan istri yang akan berdampak mereduksi hak suami atau membahayakannya atau menuntut istri untuk keluar rumah yang tidak membahayakan hak suami. Mereka melarang jenis pekerjaan yang pertama dan membolehkan jenis pekerjaan yang kedua. Ibnu ‘Abidin dari Mazhab Hanafi “Pendapat yang pertama adalah, seorang istri dilarang melakukan pekerjaan yang dapat mengurangi hak suami atau membahayakannnya, atau menuntut keluar rumah. Sedangkan pekerjaan yang tidak berbahaya, tidak ada alasan untuk dilarang. Selain itu, suami tidak boleh melarang istrinya jika pekerjaan yang dilakukan termasuk fardhu kifayah yang hanya dilakukan oleh kaum wanita, seperti mengurus persalinan”
Maka jelas sudah tentang kedudukan seorang istri bila bekerja. Ialah dibolehkan. Namun ia juga miliki syarat asalkan tidak membahayakan atau menghilangkan hak suami. Membahayakan disini adalah kemungkinan terjadinya fitnah yang akan menguncang bahtera rumah tangga. Menghilangkan hak suami adalah ketika istri melupakan kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada suami, karena tersibukkan dengan aktivitas kerjanya. Namun bila pekerjaan istri dapat terhindar dari 2 (hal) diatas maka tidak ada alasan untuk suami melarang.
Contoh mudahnya adalah misalnya dari sisi jam kerja, hendaknya istri memilih pekerjaan yang tidak mensyaratkan jam kerja yang cukup menyita banyak waktu bahkan menghajatkan lembur. Jam kerja ideal bagi seorang istri adalah mulai berangkat bekerja bersama suami dan pulang bekerja maksimal satu jam sebelum suami pulang. Sehingga ketika suami telah menginjakkan kaki di rumah, istri telah siap menyambutnya dengan penampilan yang segar dengan mengenakan busana terbaik, haruman yang disukai suami, makanan atau minuman untuk suami telah terhidang. Untuk bisa mencapai kondisi ideal seperti ini, maka istri juga perlu waktu untuk istirahat dari kerjanya. Maka seperti yang saya tulis, maksimal satu jam lebih awal istri harus sudah di rumah untuk mempersiapkan diri dan cukup beristirahat, sebelum menyambutan untuk sang suami.
Memang idealnya jika dari uraian di atas, menghajatkan istri untuk bekerja di rumah, berarti menjadi seorang wirausaha. Selain lebih banyak waktu untuk di bisa tetap mengurus rumah, juga terjaga dari fitnah yang akan membahayakan bahtera rumah tangganya. Tetapi berwirausaha juga bukan sesuatu yang mudah ditempuh dan diawali oleh sebagian orang, mungkin karena keterbatasan modal, sementara kebutuhan primer masih belum terpenuhi dari gaji ataua pendapatan suami. Maka tidak mengapa bila istri mengambil pekerjaan di luar rumah. Dengan catatan pekerjaan yang tidak membahayakan atau mengundang fitnah dan dapat menngurangi hak-hak suami. Wallahu a’lam bishawab.