Pernah makan disebuah warung dan disuguhi minuman menggunakan gelas berwarna-warni namun ukurannya sama?
Manusia itu ibarat seperti gelas warna-warni. Bentuknya sama, hanya kadang ukuran serta bentuk fisiknya berbeda. Seperti gelas yang ketika diisi dengan air putih saja, hanya dihargai 500 rupiah atau bahkan gratis. Kalau diisi dengan es teh, harganya naik menjadi 2000 atau 3000 rupiah. Diisi dengan coklat panas, harganya naik semkain tinggi 5000 rupiah. Begitu seterusnya.
Ibarat gelas, manusia pun sama. Manusia dinilai dari seperti apa isi dalam dirinya. Seperti apa akhlak yang keluar dari diri seseorang, maka seperti itulah nilainya. Ada manusia yang lebih memilih untuk mengisi dirinya dengan sedikit ilmu namun memperkaya diri dengan harta. Ini seperti gelas dari perak penuh ukiran namun isinya air putih. Itupun hanya setengah.
Ada manusia yang lebih memilih mempercantik penampilan fisik dari pada ilmu, mereka ini seperti gelas keramik yang diukir namun tidak ada isinya. Hanya fisiknya saja ynag indah namun isinya kosong mlompong. Tapi ada manusia yang memilih untuk mengisi penuh dirinya dengan ilmu namun lupa bahwa penampilan secara fisiknya kacau. Ibarat gelas, dia ini seperti coklat panas dalam gelas yang retak. Tidak ada yang mau meminumnya, karena takut terluka bibirnya. Dan tentu saja ada jenis manusia yang terus berusaha mengisi dirinya dengan ilmu namun tetap memikirkan seperti apa kualitas fisiknya. Bagaimana dia dinilai oleh orang lain. Tujuannya agar apa yang ada dalam dirinya bisa dibagikan dengan mudah diterima.
Setiap kita tentu saja ingin menjadi golongan yang terakhir. Tidak ada manusia yang ingin menjadi gelas perak yang hanya berisi air putih atau gelas keramik yang isinya kosong. Ini tidak mudah. Tidak heran kalau banyak yang memilih berhenti dan berkata “Sudahlah, begini saja sudah cukup.”. Ini tentang pilihan. Pilihan untuk memilih seperti apa isi yang dari diri kita. Sebab nantinya isi ini yang akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah. Gelasnya? Tentu saja kembali kepada asalnya.