“Seminar ini tidak mengubah apa-apa”, kata seorang wanita peserta Seminar Nasional yang digelar Lemhannas RI beberapa waktu yang lalu. “Ada, walaupun sedikit”, jawab salah seorang panitia yang menjadi mitra bicaranya.
Saya sering mendengar ungkapan seperti itu. Ungkapan keputusasaan, kegelisahan, kekecewaan, dan tiada harapan. John Rambo pernah mengucapkan kalimat seperti itu kepada rombongan misionaris gereja di bawah pimpinan Michael Burnet dan Sarah Miller, yang akan berangkat ke Myanmar. “Kamu tidak akan mengubah apapun”, kata Rambo. Namun para misionaris tetap berkeyakinan ada yang bisa mereka perbuat di Myanmar. Tapi ini terjadi di film Rambo IV.
Dalam kehidupan keseharian di tanah air kita, terlalu banyak kekecewaan dan keputusasaan masyarakat menghadapi realitas yang sulit berubah. Sikap apatis muncul dari kondisi seperti ini, sehingga banyak corak praktis dan pragmatis yang mewarnai pola hidup masyarakat. Dalam Pemilihan Umum untuk Anggota Legislatif misalnya, banyak masyarakat memilih berdasarkan transaksi praktis, karena mereka sudah tidak percaya bahwa akan ada perubahan mendasar. Siapapun yang menjadi anggota legislatif, hasilnya sama saja. Itu cara berpikir mereka.
Demikian pula dalam Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) yang bersifat langsung, terjadi pula sifat transaksional yang pragmatis. Sebagian masyarakat percaya, siapapun yang terpilih, tidak akan membawa perubahan yang signifikan. Maka, cara memilih berdasarkan kepentingan pragmatis, siapa yang memberi kemanfaatan paling banyak dan paling dirasakan menjelang masuk bilik TPS, itulah calon yang akan dipilih.
Sesungguhnya semua orang percaya, kalau setiap warga negara Indonesia baik tua maupun muda, besar maupun kecil, membawa satu sendok madu untuk dikumpulkan di Gedung Olah Raga Senayan, maka akan terkumpul 237.556.363 sendok madu. Semua orang percaya, kalau setiap warga negara Indonesia menyerahkan uang Rp. 100 (seratus Rupiah) kepada Panitia Pembangunan Rumah Korban Bencana Alam, maka akan terkumpul Rp. 23.755.636.300 atau duapuluh tiga milyar tujuhratus limapuluh lima juta enamratus tigapuluh enam ribu tigaratus rupiah.
Banyak masyarakat kita tidak percaya kepada hal yang kecil dan sederhana. Mereka tidak percaya kalau uang seratus rupiah yang mereka sumbangkan bisa menghasilkan akumulasi hampir 24 milyar rupiah, yang apabila disumbangkan untuk membangun rumah layak huni bagi korban bencana alam, akan bisa membangun 1.000 rumah seharga Rp. 24.000.000 per rumahnya. Ini lebih layak dari rumah yang dibangun oleh Pemerintah untuk korban gempa Jogja tahun 2006 yang nilainya Rp. 15.000.000 per rumahnya. Bukankah di rumah kita uang seratus rupiah dianggap sebagai pecahan yang tak ada nilainya ?
Sebuah nilai bisa terdiri dari dirinya sendiri yang memang telah bernilai, atau terdiri dari kumpulan berbagai bagian yang kurang bernilai. Kalau dalam dunia hadits, kita mengenal istilah hadits sahih lidzatihi dan sahih lighairihi, atau hadits hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Sahih karena dirinya sendiri, atau sahih karena banyaknya hadits serupa yang nilainya hasan. Tumpukan pasir bahan bangunan yang menjulang menyerupai gunung adalah kumpulan dari butir-butir pasir yang sangat kecil. Sering kali kita baru menghargai pasir ketika sudah satu truk, atau ketika sudah tampak menggunung.
Saya teringat teman lama, Ahmad Ghanzali, semoga Allah merahmatimu dimanapun kini kau berada. Dia seorang aktivis Jamaah Tabligh, yang semenjak masa kuliah di UGM dulu, sekitar kurun waktu tahun 1987 – 1990 dia sangat aktif menjalankan aktivitas dakwah. Ada ungkapan penuh keyakinan yang sering dia ceritakan kepada saya, “Kalau orang kita ajak ke masjid belum mau, ajak lagi lain kali. Jika belum mau juga, ajak lagi lain kali. Jika belum mau juga, ajak lagi, dan seterusnya. Nanti lama-lama ia akan mau ke masjid”. Ia yakin, perubahan adalah buah dari konsistensi, buah dari kesungguhan, buah dari ketekunan, buah dari keterusmenerusan.
Saat saya memberikan ceramah di salah satu Pesantren di Yogyakarta beberapa waktu lalu, ibu Nyai Pesantren bertanya kepada saya, “Bagaimana cara menumbuhkan kepekaan sosial kepada santriwati ? Berbagai usaha sudah saya lakukan tetapi belum ada hasilnya”. Saya menjawab singkat, “Tidak ada yang sia-sia dari proses pembinaan yang kita lakukan. Semua pasti memiliki pengaruh, mungkin bukan sekarang, namun suatu saat nanti baru kelihatan hasilnya”.
Kita ingin melihat uang duapuluh empat milyar rupiah itu sekarang, karena kita sudah tidak bisa menghargai proses dan waktu lagi. Kita tidak percaya bahwa uang recehan seratus rupiah itu ada manfaatnya. Kita ingin melihat pasir itu menumpuk bak gunung, baru kita percaya bahwa memang ada manfaatnya untuk membangun rumah dan bangunan tinggi. Kita tidak percaya bahwa satu butir pasir ada manfaatnya. Kita selalu ingin melihat lautan lepas yang dipenuhi air laut, karena kita tidak lagi menghargai bahwa air laut itu kumpulan dari partikel-partikel H2O.
Kita ingin melihat Indonesia berubah sekarang, menjadi baik sekarang, bebas korupsi sekarang, menjadi negara kuat dan maju sekarang, mandiri sekarang. Ya, sekarang. Bukan besok, bukan lusa. Kita sulit menghargai proses, bahwa hal-hal yang besar bisa dimulai dari yang kecil. “Saya cuma menebang satu pohon”, kata seorang warga saat diingatkan banjir bandang itu datang karena gunung yang gundul lantaran penebangan liar. Dia merasa tidak bertanggung jawab atas banjir yang datang, karena “bagaimana mungkin menebang satu pohon bisa mendatangkan banjir?”
“Saya cuma membuang satu keranjang sampah setiap hari”, kata seorang ibu rumah tangga saat diingatkan agar tidak membuang sampah ke sungai, karena banjir itu muncul dari aliran sungai yang dipenuhi sampah. Ia tidak merasa bertanggung jawab atas munculnya banjir di wilayah kampungnya, karena “bagaimana mungkin satu keranjang sampah bisa menyumbat aliran sungai?”
“Apakah kalau saya baik, Indonesia akan baik ?” Pertanyaan ini kurang lebih sama nilainya dengan, “Apakah kalau saya rusak, Indonesia akan rusak?” Kita sering lupa, penduduk Indonesia itu terdiri dari 237.556.363 “saya”.
“Apakah kalau saya tertib dan sopan di jalan, kondisi lalu lintas akan aman?” Pertanyaan ini mirip dengan, “Apakah kalau saya ugal-ugalan di jalan, lalu lintas akan kacau?” Kita sering lupa, bahwa keramaian jalan raya itu adalah kumpulan dari banyak “saya”.
“Apakah kalau saya jujur dan bersih, korupsi bisa hilang dari Indonesia?” Pertanyaan ini kurang lebih juga sama jawabannya dengan, “Apakah kalau saya korup, Indonesia akan menjadi negara terkorup?” Kita sering lupa, bahwa birokrasi dan lembaga negara itu adalah kumpulan dari para “saya”.
Masyarakat kita telah digilas oleh budaya instan, semua pengin terjadi secara cepat tanpa proses. Teman ronda saya di kampung, Pak Narno, sering meledek orang yang tidak merokok. “Katanya kalau berhenti merokok, dalam waktu dua tahun akan bisa membeli sepeda motor. Buktinya, orang-orang kampung yang tidak merokok itu juga tidak punya sepeda motor”. Tetangga saya itu tidak percaya proses, dia hanya ingin melihat hasil tanpa proses.
Apakah pendidikan yang kita lakukan tidak ada manfaatnya ? Terlalu pesimistik dan vatalistik pertanyaan seperti itu. Kita ingin melihat anak didik yang baik sekarang, tanpa harus sekolah. Tanpa harus diingatkan, tanpa harus dinasehati, tanpa harus diluruskan. Atau, kita ingin setiap nasihat langsung diikuti, setiap ajakan kepada kebaikan langsung dilaksanakan, semua larangan langsung dihindari. Tanpa proses, tanpa jeda waktu, karena kita ingin melihat kebaikan itu sekarang. Sungguh, kita sudah sulit menghargai proses dan waktu.
Apakah nasihat tidak ada lagi manfaatnya ? Apakah seminar sudah tidak memberikan makna ? Apakah tulisan sudah tidak ada artinya ? Apakah penataran sudah tidak ada fungsinya ? Apakah khutbah sudah tidak ada gunanya ? Apakah kuliah sudah tidak ada pengaruhnya ? Apakah aturan dan undang-undang sudah tidak ada tempatnya ? Apakah semua usaha itu pasti sia-sia ?
Berkacalah kita kepada Nabi Mulia, Muhammad Saw. Saat beliau dimusuhi oleh masyarakat Thaif yang mengusir beliau, malaikat datang menawarkan sebuah alternatif untuk menghancurkan orang-orang Thaif yang durhaka. Namun dengan arif beliau menolak tawaran itu, “Bahkan saya berharap, dari Thaif ini kelak lahir generasi yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya”. Demikian yang dikutip oleh Kiyai Munawar Khalil dalam kitab Kelengkapan Tarikh Nabi.
Ajakan beliau kepada kebaikan ditolak mentah-mentah oleh penduduk Thaif. Apakah ajakan itu tidak ada gunanya ? Pasti berguna. Nyatanya telah muncul generasi yang beriman dari Thaif, buah dari usaha dan doa beliau. Kita ingat pula kisah Maryam yang lemah saat melahirkan.
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan” (Maryam : 23).
“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu” (Maryam : 24).
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (Maryam : 25).
Dalam kondisi lemah karena melahirkan, adakah gunanya menggoyang pangkal pohon korma yang sangat kokoh itu ? Sepuluh orang lelaki perkasa akan kesulitan menggoyang pangkal pohon korma agar terjatuh buahnya, bagaimana dengan seorang perempuan yang tengah dalam kondisi lemah ? Apakah ada gunanya usaha itu ? Pasti ada. Dengan usaha itu, ada “alasan” bagi Tuhan untuk menolong Maryam.
Sangat banyak kegunaan dan kemanfaatan dari setiap bentuk usaha kita menuju kebaikan. Batu yang keras bisa terkikis oleh tetes air yang konsisten. Hati yang keras bisa dilembutkan oleh nasihat yang kontinyu. Pikiran yang kotor bisa bersih oleh penyadaran yang berkelanjutan. Jiwa yang lusuh kusut bisa bangkit oleh sentuhan yang mengena.
Saya selalu memiliki keyakinan, tidak ada usaha kebaikan kita yang sia-sia. Bahkan seandainya kita tidak melihat hasil usaha itu di dunia, Tuhan akan menghargai dengan sangat pantas semua usaha kita di hadapan-Nya. Saya teringat nasihat seorang Tutor Pembimbing kepada rekan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLV Lemhannas RI, kepada bang Andi Zaenal Dulung, “Kalau nilai Taskap-mu ini jelek saat ujian, saya yakin nilai kamu di hadapan Tuhan sangat baik”. Taskap adalah Kertas Karya Perorangan, sebagai tugas akhir pendidikan sembilan setengah bulan di Lemhannas. Sang Tutor yakin, isi Taskap bang Andi mengajak kepada kebaikan, maka pasti Tuhan akan memberikan nilai yang baik.
Inilah keyakinan saya. Tak ada yang sia-sia, tak akan merugi, semua usaha kita melakukan perbaikan dan kebaikan, selalu ada manfaatnya. Selalu ada hasilnya, di masa sekarang, atau di masa yang akan datang. Di dunia, atau nanti di surga. Fahal jaza-ul ihsan illal ihsan…….
Maka, teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia.