Seorang ikhwah mengeluhkan, ada kehilangan yang ia rasakan antara beberapa tahun lalu ketika ia aktif di dakwah kampus dengan hari-hari ini dalam medan dakwah yang berbeda. Diantaranya adalah menangis. Ikhwah lain membenarkan. “Dulu, begitu mudah kita menangis ketika mabit, mendengar taujih, dan hampir di semua acara tarbawi lainnya,” katanya mengenang.
Entah mengapa, beberapa waktu terakhir ia susah mengeluarkan air dari mata yang sama. Dan ternyata bukan dua ikhwah itu saja yang mengalaminya.
Menangis, menangis karena Allah, menyesali dosa, takut neraka, mengadu padaNya akan beratnya beban, merisaukan nasib umat yang tengah diperjuangkan, atau bersedih atas kondisi kaum muslimin di kawasan, adalah bagian tazkiyah yang harusnya tetap bertahan dalam dakwah. Mungkin tidak terbayang bagi orang-orang yang keras hati, bahwa bulir-bulir bening itu akan membasahi pipi. Namun demikianlah, menangis telah dicontohkan Sang Nabi dan para sahabatnya, generasi terbaik umat ini.
“Takkan masuk neraka orang yang menangis karena Allah…” demikian Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Tirmidzi.
Pada kesempatan lain, manusia mulia itu menyebutkan tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungannya. Dari riwayat Al-Bukhari dan Muslim kita mendapatkan kabar gembira. Bahwa salah satu dari tujuh golongan itu adalah “orang yang ingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya berlinang.”
Pada kesempatan berbeda, beliau juga mengabarkan keutamaan menangis yang sangat luar biasa. “Dua mata yang tak tersentuh api neraka,” sabda Sang Nabi yang direkam Tirmidzi, “mata yang menangis karena takut pada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah”
Rasulullah pernah meminta Ibnu Mas’ud membacakan Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud kala itu membaca surat An-Nisa’. Ketika sampai pada ayat 41, Rasulullah menyuruhnya berhenti sambil berlinang air mata membasahi pipi.
Para sahabat adalah generasi yang banyak menangis. Para ahlus suffah rela hidup miskin asalkan bisa lebih dekat kepada Allah dan dapat menyimak hadits Nabi. Ketika turun ayat tertentu, hati mereka bergetar, air mata perlahan keluar. Seperti saat itu, turunlah surat An-Najm ayat 59-60. Nabi menangis, para sahabat ahlus suffah yang ada di sana juga menangis.
Umar bin Khatab membaca surat Yusuf. Ketika sampai di ayat 86, sahabat Nabi yang kekar, tegap dan ksatria itu menangis sejadi-jadinya. Tenggorokannya seperti tercekik. lalu Umar yang ditakuti syetan itu terjatuh dan demam.
Suatu hari Ibnu Umar membaca surat Al-Muthaffifin, ketika sampai di ayat 6, ia terhenti lama sekali karena tangisnya yang panjang tak kunjung reda
Selain menangis ketika mentadaburi Al-Qur’an, para sahabat juga mudah menangis ketika mengingat akhirat, alam barzah dan kematian.
Utsman bin Affan yang dermawan dan ahli sedekah, jika melewati kuburan menangis hingga janggutnya basah. “Kubur itu adalah gerbang akhirat,” katanya, “jika disiksa di sana disiska pula kita di neraka”
Abu Hurairah menangis di kala sakitnya. Ketika ditanya ia menjawab, “Bukan dunia yang kutangisi, tapi panjangnya perjalanan yang akan kuhadapi dan sedikitnya bekal yang kubawa ke akhirat nanti.”
Memuhasabahi dirinya, membuat para sahabat menangis. Mereka khawatir ada penyakit hati dalam dirinya, padahal mereka adalah orang-orang yang paling mulia.
Umar pernah mendapati Muadz bin Jabal menangis seorang diri. Ternyata Muadz menangis karena mentadaburi hadits tentang riya’ lalu ia khawatir penyakit itu hinggap di hatinya.
Salman al Farisi menangis menjelang wafatnya. Ia takut tak bisa memenuhi nasehat Nabi untuk zuhud dalam hidup ini. Padahal harta Salman saat itu hanyalah ember untuk mencuci dan mandi.
Tidak mendapati cita-cita akhiratnya tercapai juga membuat sahabat seperti Khalid bin Walid menangis. Air mata yang terus mengalir membuat Khalid tak bisa tidur menjelang wafatnya. “Aku ingin mati syahid,” kata panglima perang tak terkalahkan itu, “tapi kini aku akan mati di atas tempat tidur seperti matinya unta”
Bahkan, kekayaan ataupun kemenangan juga membuat sahabat menangis. Mereka khawatir jika kekayaan atau kemenangan itu justru menjadi sebab kecelakaan di masa yang akan datang; baik di dunia ini maupun di akhirat negeri abadi.
Abdurrahman bin Auf menangis karena kekayaannya. Ia justru iri dengan Mushab, dai muda yang dianggapnya lebih baik dari dirinya; Begitu miskinnya hingga kain kafan Mush’ab di hari syahidnya tak cukup menutup seluruh tubuhnya.
Ketika wilayah Islam bertambah, Abu Darda justru menangis Jubair yang bertanya dijawabnya: “Jika mereka ingkar hukum Allah, kelak akan dituai hasilnya”
Jika demikian halnya, bukankah terlalu banyak sebab bagi kita untuk bisa menangis. Namun mengapa? Kita berlindung kepada Allah dari hati yang mengeras dan kalbu yang tidak ikhlas.