Sakitnya Menjadi Guru

Pelajar tikam guru? Sejak kapan? Ini kota kecil. Di Ruteng, sebuah kota kecil di Pulau Flores, beberapa waktu lalu seorang siswa SMP telah menikam seorang guru yang hendak mencari tahu sebab kerumunan di antara pelajar. Luka robek di bagian dahi diderita sang guru, pendarahan serius terjadi, darah segar membasahi wajah (Timex, 22/12/2014). Guru bak ditampar tangan kidal murid, pukulan yang tak mudah ditebak arahnya.

Begitukah cara murid menghormati guru? Guru lagi, guru lagi. Di mana-mana “dihina”. Jangankan di Ruteng, di negara superpower Amerika Serikat saja guru tidak luput dari cercaan. Mulai dari politisi hebat, pengusaha “gendut” hingga orangtua menuding guru lantaran sifat malas, kurang profesional, dan didikan yang dinilai tidak bermanfaat. Di mata murid juga, harga diri guru jatuh. Sering kali murid berlaku baik untuk mendapat nilai yang tinggi, naik kelas, atau “dimaafkan” kalau telat kumpul tugas. Beban besar ini mengakibatkan “teacher burnout”, guru rentan depresi, tidak nyaman dengan kerja, murung dan cepat naik pitam (Syah, 2010). Pokoknya, jadi guru, sakitnya tuh di sini!

Persoalan semacam itu merupakan bagian dari fenomena gunung es rendahnya respek atas guru. Tampaknya ada masalah besar di bawah lautan es relasi guru-murid selama ini. Tidak usah cari kambing hitam. Lebih bijaklah pendidik berbenah diri. Mungkin ada yang salah dengan guru. Ia dicap kalangan pebisnis, politisi, dan masyarakat kalau guru tidak profesional, birokratis, malas, bisa jadi benar. Cap semacam itu mungkin karena ada perbedaan impian zaman dan kultur sekolah yang masih terselubung.

Perubahan di sekolah biasanya terlambat. Saat realitas sosial menerapkan kultur kompetensi, sekolah ikut-ikutan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Ketika pedagogi modern mendorong pendekatan konseling-terapis, sekolah yang masih menghidupi gaya moralis-otoriter mulai berbenah diri. Tak heran, dalam setiap kata dan perbuatan guru akan dicurigai, dilawan. Bahkan murid berontak: Janganlah bawa kami ke arah yang salah, kepercayaan diri kami akan rusak, saya benci kamu, saya akan cerita kepada teman-teman kalau kalian guru yang jahat.

Reaksi terhadap guru boleh dibilang sebagai otokritik bagi guru sendiri untuk mengikuti tren. Respek atas otoritas guru pudar karena guru masih mewarisi pendekatan hasil godokan kakek buyut dari era paternalisme tradisional. Ini cara lama yang membangun ikatan guru-murid bersifat patriarkis aristokrat. Guru itu raja, kata-katanya jadi kebenaran tunggal. Bila tidak didengar maka kekerasan adalah langkah selanjutnya. Cara mengajarnya indoktrinatif. Konstruksi materi ajar bukan memenuhi kebutuhan murid, supaya (hegemoni) penguasa senang, maka lahirlah embrio murid yang mementingkan penampilan tubuhnya ketimbang isi kepala, tampang daripada otak, tidak tahu cara menyapa orang lain, kehilangan etika, penindas pula.

Mangunwijaya pernah mengkritik. Menurutnya, suasana pembelajaran di sekolah melulu hafalan, murid kurang bebas berekspresi. Jangan harap murid lebih cerdas dari guru, itu tabu. Tetapi giliran murid tidak tahu apa-apa maka itu pertanda buruk sekali. Di sekolah siswa bukannya dididik, malah di-drill, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh bedanya dengan pelatihan binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus. Kalau sudah jadi penyamun, perampok, penentang, atau pembangkang baru guru kaget tidak percaya lantaran dulu muridnya penurut, pendiam dan sejumlah hal positif versi lembaga pendidikan. Sekali saja si ular telat diberi makan maka sang guru (pawang) pun disantapnya.

Zaman berubah. Guru juga harus berubah. Guru adalah prototipe anak didik, gambaran dan personifikasi manusia dewasa. Siswa menghargai guru untuk jadi objek identifikasi dan imitasi. Murid ingin meniru wawasan guru yang cemerlang, teladan dan kata-katanya yang “enak” menggugah, penampilannya yang menarik dan kreatif. Jangan didik murid seturut cara lama, buatlah dahulu maka akan diikuti.

Memang, sakitnya melihat murid membangkang. Seperti lecutan guru dituntut untuk berubah namun guru harus tetap berdiri tegak sebagai pemegang teguh disiplin. Ia harus kokoh di antara arus tradisionalitas yang gila hormat serta haus kuasa dan godaan modernitas yang longgar liberal. Mau tahu sakitnya di mana ketika murid pura-pura cerdas untuk menyenangi guru?