Saya mempunyai topi berlogo Trans TV. Kata emak, jika saya memakainya, saya jadi mirip pegolf. Mirip orang kaya. Haduh, Mak. Tanpa diserupakan, sebenarnya memang saya kaya kok. Topi itu cinderamata dari Trans TV, selain ada juga bantal, kaus dan seterusnya.
Suatu malam, saya lapar. Itu tandanya saya punya perut. Saya keluar rumah. Mencari makan. Topi Trans saya gunakan. Saya pun berjalan, menyeberang, celingak celinguk, menyusuri dan akhirnya sampai di sebuah rumah makan Padang yang sekaligus menjajakan Pecel.
Masuk rumah makan, beberapa orang memperhatikan. Pegawainya serasa agak berbeda sikap. Langsung ramah. Stelan saya: kaus (supaya gaul), jaket pinjeman (supaya keliatan keren), dan celana. Saya tidak perlu melaporkan pada Anda kalau potongannya di atas mata kaki. Saya tidak mau kasih tahu siapa-siapa.
Headset terpasang. Saya pun memesan Pecel Ayam. Duduk anteng kemudian. Sedari jalan tadi, memang beberapa orang di jalanan memperhatikan. Saya mau uji coba di rumah makan ini. Mengamati atmosfir dan gerak-gerik pegawai. Pegawainya kok jadi tampak sigap. Indikasinya:
Saya langsung disuguhkan kobokan, meja dirapikan, ditanya mau minum apa, dan kelengkapan pelayanan lainnya. Padahal, ini bukanlah kunjungan pertama saya ke sini. Sebelum ini, berkali-kali saya datang. Namun kostum yang dipakai tentu berbeda. Biasanya tidak segaul ini. Dan kala itu, tidak pernah saya rasakan pelayanan separipurna ini. Apa ini berkat topi berlogo TransTv?
Saya yakin iya.
Di hari lain di sebuah warung, kebetulan juga saya memakai kaus TransTV dan Topi TransTV. Kebetulan saja karena kaus lain belum dicuci. Ibu-ibu yang sedang ‘nongkrong’ di warung itu menyeru pada anaknya yang masih kecil, “Wah, ni dek ada om dari Trans TV.” Dan seolah bangga dengan kehadiran saya.
Padahal, saya tidak dari Trans TV, melainkan dari warteg ketika itu. Dan cukup menyunggingkan bibir saya dan memiriskan hati juga kala melihat binar kebanggaan mereka atas identitas palsu saya. Belum lagi seorang laki-laki yang sedang duduk di samping maqom (tempat berdiri) saya. Ia melekatkan matanya erat-erat pada saya. Tak henti. Entah dia heran, kepo atau kamseupay, OMG Hello ga jelas deh.
Itu sekelumit cerita singkat saja. Cerminan rakyat atau masyarakat yang menjadikan TV sebagai second ‘Holy Book’. Bahkan, mungkin the first. Tidak jauh beda mungkin dengan yang menuntut ilmu rajin cuma di Facebook, namun berat sekali menelaah the Holy Book atau tafsirnya.
Ehem…jikalau memang saya adalah pekerja Trans Tv, nothing to be proud of. Mengapa toh rumah makan keren Padang itu menyambut saya dan melayani bagus sekali -saat itu saja-? Mungkin di fikiran mereka, saya adalah intel Trans yang memburu kuliner bagus di Jakarta. Atau, mereka takut jika saya tidak dilayani dengan baik, maka akan di-black-list restonya. Atau, mereka was was jikalau ada beberapa kamera terpasang di sekitar.
Padahal Trans itu ya TV. TV sekarang apa sih, bos? Yang membuat TV menjadi ‘mulia’ dan ‘agung’ ya konsumennya. Pemirsanya. TV itu seperti pemerintahan demokrasi, slogannya: “Dari rakyat untuk rakyat.” Sebagaimana pemerintahan, TV adalah cerminan rakyat. Cerminan pemirsa.
Dan program stupid semacam YKS itu cerminan banyak dari rakyat kita. Stupid, tidak jelas, suka joget, suka mempermalukan orang yang tidak layak dipermalukan, membuat bodoh kalangan muda terutama, dan tentu saja: wasting time, wasting money dan menyia-nyiakan fungsi akal.
Ada satu kasus yang membuat saya berfikir: “Kedua kubu sama-sama membuat saya tertawa.”
Yaitu kasus YKS berkaitan dengan seorang tokoh Betawi, Benyamin. Apa itu kasusnya, cari tahu saja sendiri. Pokoknya, ada yang merasa terhina dari family Bang Ben dengan satu tingkah seseorang atau dua orang di YKS.
Kenapa keduanya membuat saya tertawa?
Karena:
- YKS itu acaranya orang-orang yang seharusnya tidak mengenyam pendidikan yang layak. Jadi, wajar saja jika ada kekonyolan yang di luar batas terjadi.
- Yang tersinggung dengan ‘pelecehan’ terhadap Bang Ben juga kok tidak mikir ya: Jangan cuma mikirin harga diri Bang Ben dan masyarakat Betawi dong, tapi coba fikir bahwa sudah lama YKS itu menginjak harkat anak-anak muda bangsa kita. YKS sarat akan lelucon murahan. Selayaknya OVJ, yang suka semprot muka orang dengan sesuatu. Itu pelecehan. Atau ‘ngerjain’ dengan barang-barang kardusan, baik dengan cara membiarkan korban duduk di atasnya, atau memukul mereka dengannya. Bodoh sekali.
Belum lagi penonton di YKS seringkali memakai seragam sekolah, lalu diajak berjoget bercampur baur. Belum juga orang-orang tua yang ikut nonton terkadang kena kekurangajaran beberapa artis YKS. Belum juga yang memakai atribut mengesankan religiusitas Islamis, namun ternyata joget-joget sehina itu.
Tapi syukurlah, berkat si Fulan yang tersinggung akan pelecehan terhadap Bang Ben, YKS dihukum.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) resmi menjatuhkan sanksi berupa penghentian penayangan acara televisi Yuk Keep Smile (YKS) mulai 28 Juni 2014 di TransTV. Sanksi itu dikeluarkan oleh KPI karena YKS episode 20 Juni 2014 memuat adegan-adegan yang melecehkan sosok seniman legendaris Betawi, almarhum Benyamin Sueb, dengan mengasosiasikan anjing sebagai anjing yang lucu seperti Benyamin.
Sukurin!
Saya melihat tayangan YKS cuma sekali dan tidak full tentu saja. Hebatnya YKS, meski saya cuma menonton sebentar, namun sudah membuktikan bahwa acara ini tidak cocok untuk manusia.
Ustadz Hasan Al Jaizy, Lc.