Saya pribadi, selama ini selalu bayar dengan uang.
Mengapa?
– Karena pendapat ini banyak disarankan oleh ulama-ulama kontemporer.
– Karena uang lebih simpel dan gampang dalam proses pemberian dan penerimaan.
– Karena uang lebih “maslahat” bagi fakir-miskin.
– Karena sudah banyak yang keluarkan beras, sedangkan kebutuhan fakir-miskin tidak hanya beras.
Ini pendapat yang saya amalkan sejak dulu. Sudah bertahun-tahun. Tapi ternyata, setelah kembali membaca dan mendengarkan, mengkaji dan membahas, saya memutuskan sejak tahun kemarin (dan Insya Allah tahun ini juga) untuk membayar Zakat Fithri dengan beras.
Mengapa?
Di sini saya sampaikan 10 alasan saja:
– Pertama, seluruh nash hadits yang membicarakan tentang Zakat Fithri, ternyata tidak ada satu pun yang menyinggung kata nominal atau uang. Dalam konteks ibadah, berpegangan kepada nash adalah suatu hal yang sangat urgen, tanpa harus mempertanyakan kenapa begini kenapa begitu.
– Kedua, pada zaman Rasul tentu saja sudah terdapat uang, orang miskin pada zaman itu juga banyak yang memiliki beragam kebutuhan dan bukan hanya makanan pokok saja. Akan tetapi para Sahabat tetap saja mengeluarkan makanan pokok dan bukan uang, jadi amalan penduduk Madinah ini merupakan dalil kedua setelah teks Hadits yang ada.
– Ketiga, kata “fitrah” itu sendiri sebagian ada yang memaknainya dengan “penciptaan/makhluk” (oleh karena itu zakat fithri wajib bagi setiap individu), dan ada juga yg memaknainya “makan setelah puasa” (dengan demikian diwajibkan membayar makanan pokok). Selain itu, dalam sebuah Hadits telah disebutkan dengan jelas bahwa zakat fithri ini diwajibkan sebagai Pembersih dan Penyuci (Thuhrah) bagi orang yang berpuasa, serta Sebagai makanan (Thu’mah) bagi orang-orang miskin. Inilah esensi dari zakat fithri itu, yaitu makanan pokok.
– Keempat, Zakat itu banyak jenisnya; ada zakat harta, binatang ternak, hasil tanaman, fithri, dan sebagainya. Dalam zakat harta, orang mengeluarkan uang. Dalam zakat binatang ternak, mengeluarkan binatang ternak, tidak boleh diganti, ditukar, dibolak-balik. Hal tersebut karena setiap zakat sudah memiliki karakteristik masing-masing. Demikian juga zakat fitrah, karakteristiknya adalah Makanan Pokok.
– Kelima, saat membolehkan membayar zakat fithri dengan beras, sejatinya seorang faqih telah menggunakan qiyas yang menyamakan antara beras (yang tidak terdapat dalam Sunnah) dengan korma/gandum (yanhg terdapat dalam sunnah) dengan adanya persamaan ‘illah (kausa hukum) antara keduanya, yaitu sama-sama makanan pokok. Sedangkan uang, ‘illah-nya adalah tsamaniyah (currency) dan bukan thu’m (makanan pokok) jadi beda jenis.
– Keenam, saat mengeluarkan beras, maka timbangannya adalah 1 Sha’ (sekitar 2,5 kg), Tapi saat mengeluarkan uang, mengapa dikonversi dulu ke harga beras? Sedangkan beras itu sendiri adalah perkara baru yang untuk mendapatkan hukumnya saja ia harus diqiyaskan dulu kepada korma/gandum. Dan jika konversi nominal yang mengacu kepada harga beras ini merupakan qiyas juga, maka ini adalah “qiyas bertikung” yang tidak memenuhi syarat sah qiyas.
– Ketujuh, jika kita perhatikan bersama, sesungguhnya Syariat Islam itu sebuah sistem matang yang tertata rapi dan selalu memperhatikan keseimbangan. Dalam masalah zakat, kita dapatkan berbagai macam jenis zakat berkaitan antara satu dengan yang lainnya, jika saja setiap Muslim patuh dan konsisten akan ketentuan ini, maka akan lahir keselarasan dalam tata sistem Syariat. Jadi, orang miskin akan mendapatkan makanan pokok dari zakat fithri, mendapat uang dari zakat maal, mendapat baju baru dari kafarat yamin, mendapat THR dari sedekah, dan seterusnya.
– Kedelapan, argumen yang sering digunakan untuk membolehkan membayar zakat fithri dengan uang adalah; karena lebih Maslahat bagi mustahiq. Akan tetapi, apa itu maslahat? Ini pembahasan panjang, tapi intinya; “Setiap terdapat aturan Syariat, di situ pasti terdapat Maslahat. Dan belum tentu setiap hal yang Kita Anggap itu Maslahat, dapat semena-mena kita jadikan sebagai Syariat”. Hati-hati, poin ini sangat penting sekali!
– Kesembilan, membayar zakat fithri dengan beras akan mempersempit kemungkinan penyelewengan barang zakat tersebut. Berbeda halnya dengan uang, orang akan mudah mengalihkannya kepada hal lain yang kurang substansial, seperti dibuat beli rokok atau beli tiket konser dangdut misalkan.
– Kesepuluh, Jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan mayoritas Fuqaha telah berpendapat bahwa Zakat Fitrah itu dikeluarkan dengan makanan pokok dan tidak bisa diganti dengan uang. Jadi, selama mayoritas telah berkata, berarti pendapat ini lebih kuat secara Demokratis
Wallahu A’lam Bis-Shawab.
Oleh: Yusuf Al-Amien
www.facebook.com/yusufisme
—–
Catatan:
Zakat fithri dengan uang bukan perkara kontemporer, tapi perkara yang sudah ada dalam khazanah keilmuan islam sejak zaman generasi Imam Abu Hanifah (generasi tabi’in), dan yang mendukung pendapat inipun bukan ulama ecek-ecek yang hafal 100-200 hadits, tetapi sekelas Imam Bukhari, atau ulama besar semisal al-Hasan al-Bashri, Sufyan al-Tsauri, Abu Yusuf, at-Thahawi, Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur, dan Umar bin Abdul Aziz.
Dimasa itu, perbedaan tsb dihargai dengan lapang dada, sama seperti perbedaan yangg disikapi dgn lapang dada antara Abu Sa’id al-Khudri dengan Muawiyah dalam besaran zakat gandum qumh. (Ustadz Ispiraini Hamdan, Lc.)